From Google
Ketika ku terduduk termenung di sebuah kursi
Ketika ku memandang gerakan detik demi detik jam
Teringatlah diriku ke masa dimana tetesan air mata tercurah
Masa sewaktu diriku masuk ke dalam suasana yang kelam
Masih terlukis jelas dibenakku
ketika aku bersama ayah dan ibuku
melangkahkan langkah demi langkah pasti
‘tuk ungkapkan rindu pada saudara
Suasana haru t’lah datang
Senang senantiasa menghiasi raut setiap wajah kami
Luapan rindu mengalir amat deras
Hiasan tawa lepas yan ‘tak kulupakan
Namun…
Suasana haru itu lenyap
Sirna tertelan alunan teriakkan benda tak bertuan
Mengguncang heboh setiap kami
Aku pun tak tahu tujuan arah kakiku berlari
Satu-satunya keinginanku kembali melihat matahari
Tak ada benak orang lain yang menghantuiku
Melihat merekahny matahari itulah tujuanku
Aku pun berhasil mendapat ‘rekahnya matahari’
Namun kebahagiaan itu terasa hampa
Aku tak tahu apakah senyuman-senyuman itu terus ada
Apakah senyuman-senyuman indah itu akan menemani hari-hariku kembali
Kuarahkan badanku berbalik ke arah itu
Melihat puing-puing menyiutkan harapanku akan senyum itu
Bagiku setiap puing ialah ‘senyum’,
Senyuman yang terkubur nan abadi di Kerajaan Allah
Denyut nadiku terasa lemah
Rasa-rasanya kutak percaya
Sesosok manusia tergeletak tanpa nyawa di depan tubuhku,
yang tertunduk lemah menantikan senyum itu datang
Sosok manusia itu muncul dibenakku
“itu adalah ibuku”
Alunan nafasku terasa amat sesak
Tak sanggup ‘tuk katakan apapun
Tetesan air mata menghujani siang ini
Salah satu senyumku kini telah mendapat matahari Surga
Rasa-rasanya kutak sanggup kehilangan senyum itu lagi
Namun Tuhan menghendaki yang lain
Ku kuatkan mentalku
Membangkitkan diriku yang lemah ini
Menjalani langkah-langkah semua orang
Mencari kabar senyum-senyumku
Di depanku terpampang sebuah kertas
Kumelihat nama ayahku terpampang di kertas itu
Ketika mataku mengarah ke nama tertinggal di bagian bawahnya
Mataku tak sanggup tuk teteskan airnya
Badanku terkulai lemah dibawah papan tersebut
Mataku tak sanggup melihat apapun
‘rasaku seseorang memindahkanku,
Menidurkanku di sebuah raung putih
Pertama kalinya ketika ku membuka kelopak mata
Aku melihat senyum satu-satunya yang tersisa
Hatiku teriris melihat mata sepupuku itu,
Wajah kecil yang tak tahu apa yang terjadi
Melihatnya terlihat tak berdaya
Tumbuhlah biji ketabahan dalam hatiku
Melanjutkan hidup dikala melihat matahari
Mengubahkan wajah kecil itu menjadi wajah cerah
Pahit, amat sangat pahit,
masa kelamku yang lalu itu
Namun kini ku t’lah kembali
Merajut senyuman-senyuman itu tanpa mereka
Hanya sepatah kata yang hanya kuingin ucapkan,
yang telah lama aku pendam dalam hati
“Tuhan, terima kasih atas cobaan ini!”
By Rosalinda Mintre